6 Jurus Pemurtadan di Lereng Merapi, Dari Budaya Hingga Hadiah Rumah
MAGELANG (Penjahat Emperor's) - Akhir
Mei 2011, tepat jelang sehari keberangkatan tugas dakwah, Roli Noberto
mendapat kabar menyengat dari almamaternya. Sarjana Komunikasi Islam
alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah M Natsir Jakarta ini dipindahkan
tugasnya dari semula ke Cibinong, Jawa Barat, menjadi ke Magelang, Jawa
Tengah. Padahal, dai muda dari Sumatera Barat ini sudah bersosialisasi
ke Cibinong. Bahkan ia sudah mendapatkan rumah kontrakan yang bakal
ditinggalinya selama setahun di sana.
Roli
protes kepada Ustadz Misbahul Anam, dosen STID M Natsir yang juga
mengatur penempatan dai. Namun STID bergeming. ‘’Kami punya pertimbangan
tertentu sampai detik-detik akhir untuk penempatan dai. Tapi insya
Allah, saya punya feeling, antum dan Madeni akan lebih baik di lereng Merapi daripada di Cibinong,’’ ujar Ustadz Misbah mendinginkan Roli.
Oleh
Pembina Dewan Da’wah, Kyai Kholil Badhawi, Roli dititipkan kepada
keluarga tokoh FKUI (Forum Komunikasi Umat Islam) di Dusun Demo,
Kelurahan Kalibening, Kec Dukun. Di sini, Roli Noberto dikenal sebagai
Ustadz Abdul Rasyid. Sedangkan Madeni tinggal bersama keluarga Sardi di
depan Masjid Al Fatah, tak jauh dari kediaman Roli.
Bersama
FKUI, Ustadz Roli dan Madeni, merekam pola gerakan deislamisasi di
desa-desa di Lereng Merapi Kecamatan Dukun Magelang melalui 8 jurus,
yaitu:
1. Memasuki dan mendampingi warga desa-desa terpencil yang masih belum atau kurang terbina dakwah Islam. Misalnya Desa
Bojong, Windusari, Tanen, dan Desa Sumber. Misionaris memiliki Program
Tinggal di Desa (Living In), yaitu mendatangkan kader-kader misionaris
dari Amerika untuk tinggal beberapa pekan bersama keluarga muslim di
lereng Merapi.
2. Indoktrinasi dan praktik pluralisme.
Penduduk dicekoki faham bahwa semua agama benar dan baik, tujuannya
sama, sehingga tidak masalah orang Islam berpindah ke lain agama sesuai
kemampuannya. Maka, hal biasa dalam satu keluarga, terdapat anggota
yang beragama islam dan non-Islam.
3. Diakonia. Para misionaris secara terbuka door to door
menawarkan kebutuhan pokok masyarakat seperti sembako (sembilan bahan
pokok), alat sekolah, dan prasarana pertanian. Beberapa rumah penduduk
dibangun atau direnovasi denganbantuan gereja, dengan syarat tertentu
yang harus dipenuhi. Agar ‘’legal’’, program ini dilakukan dengan
memanfaatkan kekuasaan pengurus RT maupun Kepala Desa. Dengan menguasai
sektor-sektor bisnis strategis, misionaris mampu menawarkan dan
memberikan pekerjaan bagi anak, remaja, atau pemuda tamatan SMP dan SMA
muslim yang masih menganggur.
4. Membuka Sanggar Seni, Lembaga Kursus dan Bimbel, atau Taman Baca gratis. Program ini menyasar anak-anak muslim mulai SD sampai SMA. Misi non-Islam disisipkan di sela-sela pembelajaran berupa nyanyian-nyanyian kerohanian atau gambar-gambar.
5. Menyaru Budaya Muslim. Para
agen Injili tak sungkan mengambil simpati masyarakat dengan belajar
fasih mengucapkan salam atau hamdalah, juga mengenakan baju koko, peci,
memelihara jenggot, dan lain-lain. Mereka pun aktif menghadiri
acara-acara keagamaan maupun kekeluargaan warga Islam.
6. Akulturasi budaya. Misionaris
memanfaatkan budaya lokal sebagai alat penyebaran agama, misalnya
rebana, kuda lumping (jathilan), topeng ireng, wayang kulit, dll.
‘’Jurus-jurus
mereka sangat efektif sehingga di beberapa dusun telah terjadi
pemurtadan besar-besaran. Bahkan ada satu dusun yang kini umat Islamnya
tinggal 2 keluarga yaitu Dusun Tangkil dan Ngargomulyo,’’ ungkap Ustadz
Roli.
Ia menambahkan, desa-desa yang paling rawan pemurtadan Desa Sumber, Ngargomulyo, Kalibening, Krinjing, Keningar, dan Wates.
Tepat
setahun kemudian, Roli berkirim SMS ke Ustadz Misbah. Bukan cepat-cepat
minta ditarik ke Jakarta, dia malah mengajukan permohonan agar tugasnya
di Dukun, bisa diperpanjang setahun lagi.
Menemukan Jodoh di Medan Dakwah
“Saya
sempat heran, ada apa ini. Ternyata, dia kecantol sama kembang desa
lereng Merapi,’’ tutur Ustadz Misbahul Anam, tatkala menyampaikan
taushiyah walimatul urusy pernikahan Roli Noberto-Mia Marlinasari di
Desa Talun, Dukun, Magelang, Ahad, 27 Mei lalu.
Walimahan
pengantin berlangsung semarak. Selain keluarga mempelai, juga hadir
para tokoh pendidikan dan agama setempat, termasuk para pengurus
komunitas Al Barokah yang menggerakkan da’wah di sana. Juga kawan-kawan
dari beberapa ormas Islam seperti FKUI, FPI, Muhammadiyah, dan NU.
Dari
keluarga besar Dewan Da’wah, hadir Kyai Kholil Badhawi, Ustadz Misbahul
Anam (STID Natsir), Nurbowo (LAZIS Dewan Da’wah Pusat), Ustadz Fauzan
dan Nasrul (Ketua dan Sekretaris Dewan Da’wah Magelang), Ustadz Yuli
Fajar (Dewan Da’wah Jawa Tengah), dan Ustadz Madeni (Da’i Dewan Da’wah
di Magelang).
Kepada
Pembina Dewan Da’wah, seorang tokoh sepuh setempat berbisik-bisik.
‘’Sebelum saya meninggal, tolong kabulkan permintaan terakhir saya
kepada Dewan Da’wah. Tolong Ustadz Rasyid dan Madeni biar tinggal di
Dukun sini, jangan ditarik ke Jakarta,’’ katanya terpatah-patah.
‘’Nggih, baik, insya Allah,’’ jawab Kyai Kholil, yang membuat marem tokoh tersebut.
Lereng
Merapi memang membutuhkan lebih banyak lagi da’i. Jika tidak dipenuhi,
jangan kaget kalau kelak daerah ini akan menjadi ‘’padang gembala
Kristus’’. [nurbowo] Voa-islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar