Selasa, 23 Agustus 2011

KEBANGKITAN KAUM LUTH

 
Sekitar 60 pasangan lesbian menikah pada pesta pernikahan massal terbesar yang diadakan di sebuah klub malam di Taipei, Taiwan, Sabtu, 20 Agustus 2011. Sebagian besar pasangan lesbian menggunakan gaun putih dan pita putih yang menghiasi rambut mereka pada pernikahan dengan tema 'Barbie'. Acara ini mampu menarik lebih dari 1.000 pengunjung yang datang, termasuk diantaranya teman, saudara, maupun pengunjung klub yang datang karena rasa penasaran ingin melihat acara tersebut. Meskipun pernikahan sesama jenis masih belum dilegalkan di Taiwan, namun perayaan pernikahan massal tersebut berjalan lancar tanpa gangguan polisi atau aksi protes lainnya. (Foto: AP Photo/Wally Santana)


Pasangan lesbian berpose di depan kue pernikahan mereka pada pesta pernikahan massal di sebuah klub malam di Taipei, Taiwan, Sabtu (20/8). Foto: AP Photo/Wally Santana  

Pasangan lesbian memotong kue pada pesta pernikahan massal di sebuah klub malam di Taipei, Taiwan, Sabtu (20/8). Foto: AP Photo/Wally Santana 
 
Pasangan lesbian berpose dengan cincin pernikahan mereka pada pesta pernikahan massal di sebuah klub malam di Taipei, Taiwan, Sabtu (20/8). Foto: AP Photo/Wally Santana 

Pasangan lesbian berpose dengan sertifikat pernikahan pada pesta pernikahan massal di sebuah klub malam di Taipei, Taiwan, Sabtu (20/8). Foto: AP Photo/Wally Santana 

Anggota senat Amerika Serikat di negara bagian New York akhirnya mengesahkan undang-undang pernikahan sesama jenis, Jumat (24/6). Dengan disahkannya undang-undang ini, New York menjadi negara bagian keenam dan terbesar di AS yang memperbolehkan pernikahan sejenis. (Foto: AP Photo)
 

Gubernur New York, Andrew Cuomo (tengah), didampingi sejumlah anggota senat menandatangani undang-undang pernikahan sesama jenis di New York, Amerika Serikat. Foto: AP Photo/ Mike Groll 






Sejumlah orang bersuka ria pasca pengesahan undang-undang pernikahan sesama jenis di New York, Amerika Serikat, Jumat (24/6). Foto: AP Photo/ Hans Pennink  




Seorang profesor bernama Courtney Mitchell melangsungkan upacara pernikahan dengan seorang pengacara bernama Sarah Welton di sebuah kuil di Kathmandu, Nepal, Senin (20/6). Pernikahan pasangan dari Denver, Colorado, Amerika Serikat ini adalah pernikahan pasangan lesbian pertama yang digelar di Nepal. Sejak beberapa waktu lalu, negara yang berada di pegunungan Himalaya tersebut mulai mengakui hak-hak kaum homoseksual. (Foto: AP Photo)









Courtney Mitchell dan Sarah Welton melangsungkan upacara pernikahan mereka di sebuah kuil di Kathmandu, Nepal, Senin (20/6). Foto: AP Photo/ Binod Joshi  


Pasangan Courtney Mitchell dan Sarah Welton berjalan di sebuah pasar di Kathmandu, Nepal, Sabtu (18/6). Foto: AP Photo/ Binod Joshi  


Kebangkitan kaum Luth

Manusia memang makhluk yang mudah sekali melupakan peringatan Allah. Lihatlah, fenomena yang terjadi di daerah-daerah bekas bencana. Beberapa hari setelah bencana, masjid-masjid dipenuhi manusia yang meratap dan berdoa kepada Allah. Tapi, ketika tahun berganti tahun, ketika bangunan-bangunan mulai direnovasi, saat sisa-sisa bencana mulai sirna, maka banyak lagi yang melupakan masjid. Shalat jamaah yang sebelumnya sempat ramai, kemudian menjadi sepi kembali.

Lebih parah lagi, kemaksiatan yang sebelumnya sempat mereda, kembali marak. Bahkan, ada yang secara terang-terangan kembali menantang Allah untuk menurunkan azabnya. Persis dengan apa yang dilakukan oleh kaum nabi-nabi yang diperingatkan tetapi malah menantang Allah dan Rasul-Nya. Simaklah perilaku kaum Luth ketika diberi peringatan: “Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: ”Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir.” (QS asy-Syu’ara: 165-167). 

Jadi, karena memberikan nasehat dan peringatan kepada kaumnya, atas penyimpangan perilaku seksual mereka, maka Nabi Luth a.s. dianggap sebagai orang yang cerewet, usil, dan mengganggu hak asasi mereka, sehingga mereka meminta Luth a.s. untuk diam. Jika tidak mau, maka mereka megancamnya untuk mengusir dari negeri mereka. Itulah perilaku kaum homo di zaman Nabi Luth a.s.

Sekarang, marilah kita simak apa yang sedang terjadi di negeri kita? Televisi kita setiap hari menayangkan tontonan yang mengajak masyarakat untuk bersikap menerima perilaku kaum Luth, baik secara halus maupun secara terang-terangan, bahkan seringkali ditampilkan dengan sangat vulgar. Sering, tayangan ’kaum Luth’ ini dimunculkan dalam bentuk lawakan dan humor-humor segar, sehingga bisa membuat orang terlena dan terbuai dalam dunia tawa. Lama-lama, dia menganggap bahwa ’kaum Luth’ dan orientasi seksualnya adalah sesuatu yang normal dan absah, sama dengan manusia-manusia lainnya.

Tujuan dari kampanye besar-besaran semacam ini adalah terjadinya cara pandang masyarakat. Dulu, hampir tidak ada yang berani mengakui dirinya sebagai homo atau lesbi. Mereka malu, karena akan ada sanksi sosial. Kini, banyak yang secara terbuka mengakui. Bahkan, banyak yang bangga dan kemudian mengajak orang lain untuk bergabung dalam komunitas ’kaum Luth’.  Lebih jauh lagi, atas nama HAM dan kebebasan berkeyakinan, ’kaum Luth’ kini menuntut legalitas perkawinan di antara mereka.

Pada tanggal 6-9 November 2006, di Kota Yogyakarta, berkumpullah 29 orang pakar HAM terkemuka dari 25 negara. Mereka memiliki berbagai latar belakang dan bidang keahlian. Di ”kota pelajar”  inilah, mereka menyusun suatu konsep tentang pengelolaan hukum internasional HAM dan pelaksanaannya terhadap pokok-pokok persoalan tentang orientasi seksual dan identitas gender. Termasuk di dalamnya persoalan kelompok lesbian.  Para pakar itu kemudian berhasil melahirkan apa yang disebut sebagai ”The Yogyakarta Principles”.  Yaitu, suatu ”Prinsip-prinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakuan Hukum Internasional atas Hak-hak Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender dan hukum internasional sebagai landasan pijak yang lebih tinggi dalam perjuangan untuk hak asasi manusia yang paling dasar (baca: kebutuhan seksual) serta kesetaraan gender.”The Yogyakarta Principles  adalah prinsip-prinsip pembelaan terhadap hak-hak seksual (sexual rights) seseorang, yang telah diungkapkan secara internasional di muka sidang Human Rights Council’s PBB di Genewa, pada 26 Maret 2007.

Dalam artikelnya yang berjudul ”Lesbian dan Hak-hak Sipil” di Jurnal Perempuan (edisi Maret 2008), Ratri M., menjelaskan tentang nilai strategis Prinsip-prinsip Yogyakarta tersebut: ”Prinsip-prinsip Yogyakarta ini merupakan tonggak sejarah (milestone) perlindungan hak-hak bagi lesbian, gay, biseksualdan transgender. Menggunakan standar-standar hukum internasional yang mengikat dimana negara-negara harus tunduk  padanya.”

Pada 16 Desember 1966, PBB – melalui Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) mengeluarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Poitik, yang pada pasal 23-nya menyatakan adanya jaminan terhadap hak setiap manusia untuk membentuk keluarga dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa perkawinan tersebut hanya berlaku atas kelompok heteroseksual.

Dalam artikelnya yang berjudul ”Rahasia Sunyi: Gerakan Lesbian di Indonesia  di Jurnal yang sama, RR. Sri Agustine mencatat perkembangan gerakan ini di Indonesia. Dalam artikel ini disebutkan, bahwa gerakan legalisasi ’kaum Luth’ bukan hanya dilakukan oleh LSM-LSM seperti PERLESIN (Persatuan Lesbian Indonesia) tetapi juga sudah melibatkan lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. 

(FOTO: VIVANEWS.COM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar